• Ngomongin Korupsi



    Berbicara mengenai muatan apa itu korupsi pasti adalah hal-hal negatif dan berbagai muatan politis serta kekuasaan yang kemudian melekat dalam benak ketika membicarakan mengenai korupsi. Korupsi bukanlah hal baru yang di bicarakan di dalam masyarakat, mungkin sudah sejak zaman manusia belum mempunyai peradaban yang seperti sekarang ini. Kata korupsi sendiri berasal dari kata “Corurumpere” yang berarti kebususkan, kebobrokan. Korupsi memang sangat erat dan tidak bisa dilepaskan dari tindakan-tindakan curang yang merugikan banyak pihak. Dilihat dari segi sosiologis korupsi tidak serta merta hanya sebuah penyimpangan yang dilakukan oleh individu maupun kelompok, melainkan adalah kemauan dari para aktor(pelaku korupsi) yang ingin membuat norma mereka sendiri. Dilihat dari kacamata normatif tindakan korupsi memang sangat jauh dari kata pantas dan layak dilakukan, tetapi ketika tindakan korupsi itu sudah mengakar di dalam sistem masyarakat dan dianggap wajar oleh masyarakat sendiri kemudian tindakan yang seperti ini menjadi sangat sulit untuk diperangi karena sudah bak seperti kawan sendiri.
    Korupsi sangat dekat sekali dengan yang namanya kekuasaan. David hume seorang filsuf lewat karyanya tentang teori politik, menggambarkan paradoks bahwa dalam setiap jenis masyarakat seluruh populasi tunduk kepada para penguasa meskipun kekuatan sebenarnya berada di tangan rakyat(Chomsky:2015). Dalam peryataan tersebut bagaimana bisa dilihat bahwa posisi kelas tertinggi dalam struktur kemudian di duduki oleh penguasa, padahal secara semu kemudian masyarakat lah yang berkuasa tetapi masyarakat juga yang harus tunduk terhadap penguasa. Bisa dibayangkan ketika kemudain manusia berada di puncak tanpa pengawasan dan transparansi yang jelas, kesempatan untuk melakukan tindakan korupsi juga amat sangat mudah dan menjadi tanpa batas untuk mengeruk kekayaan demi kepentingan pribadi dan kelompok. Dan hal tersebut menjadi peluang yang sangat dicari oleh para pemburu kekuasaan untuk mensejahterkan keluarga dan para wanita-wanita yang menjadi simpanan para penguasa dan calon penguasa yang bisa dikatan murtad dari kaidah struktur dan sistem dalam masyarakat ini.
    Di media massa yang beredar dalam tataran lokal sendiri hampir setiap hari kasus korupsi yang terungkap dengan berbagai modus operasi yang semakin mengalami revolusi tentunya. Masih hangat mungkin dalam ingatan ketika perusahaan Belanda VOC yang kemudian gulung tikar dan meninggalkan hutnag sebegitu banyaknya kepada kas negara. Bukan karena persoalan kalah dalam persaingan perdagangan melainkan akibat dari bahaya laten korupsi yang di lakukan oleh para pegawai di VOC tersebut. Dampak dari korupsi memang tidak serta merta di rasakan pada saat itu juga melainkan bahaya latennya yang kemudian bisa menyimpan bencana yang seirus, terlebih lagi ketika korupsi yang dilakukan berskala besar dan teroganisir, tentu juga kerusakan yang ditimbulkan menjadi semakin besar. Yang perlu di pertanyakan adalah apakah norma-norma di masyarakat yang mendorong mereka untuk berperilak korup, atau kemudian norma-norma ini tidak lagi bisa menjawab permasalahan-permasalahan yang mengakibatkan masyarakat berada di titik anomik. Masih menjadi perjuangan masyarakat bersama di kemudian hari bagaimana caranya memerangi extra ordinary crime ini.
    Membahas mengenai kebobrokan dari korupsi memang tidak akan ada habisnya. Untuk mengimbangi pemikiran mengenai korupsi, ada analisis positif mengenai perlunya sebuah korupsi di dalam sistem. Lewat teori struktural fungsionalis Robert K. Merton yang memandang positivis terhadap struktur dan sistem yang ada di dalam masyarakat ternyata berjalan sebagaimana mestinya. Korupsi sendiri mempunyai tempat sendiri di dalam sistem yang berjalan di dalam masyarakat. Kepatuhan masyarakat terhadap struktur yang menyebabkan tindakan korupsi kadang di halal kan demi untuk mencapai kesejahteraan bersama. Merton melihat masyarakat semakin kompleks dalam mengalami perkembangannya. Selama itu juga norma-norma dalam masyarakat juga mengalami penyesuain dengan perkembangan masyarakat. Dalam hal ini posisi korupsi menjadi semacam kebiasaan yang lazim dan seakan-akan tidak berdampak apa-apa terhadap struktur masyarakat. Kita ambil contoh mengenai prosedur pembuataan surat izin mengemudi (SIM). Kalau ditinjau dari segi aturan memang tidak membenarakan jika dalam membuat sim menggunakan jasa calo adalah suatu hal yang di setujui oleh pihak kepolisian. Karena kepatuhan masyarakat terhadap struktur, maka masyarakat menggunakan korupsi untuk mempermudah dan mempercepat dalam melakukan restrukturisasi atau untuk sekedar melakukan kepatuhan pada struktur.
    Dalam melihat masyarakat Merton juga di pengaruhi beberapa tokoh seperti comte, durkheim dan weber. Masyarakat yang selalu dianggap sesuai dengan struktur yang berjalan merupakan pandangan positif dari Merton sendiri. Analisis struktural fungsionalis ini secara makro digunakan untuk menganalisis sebuah negara dimana korupsi di jadikan sebuah cara dalam membangun sebuah negara. Korupsi menjadi shortcut  dalam menghadapi birokarasi. Kita ambil contoh saja proses pembangunan di dalam negara-negara dunia ketiga. Untuk dapat menarik investor-investor dari luar dibutuhkan lah tindakan korupsi untuk memanipulasi beragam hal, seperti pajak dan surat-surat pengrusan izin dari para investor ini tadi. Curang memang tapi disisi lain negara juga terbantu dengan semakin banyaknya investasi dari asing maka kemajuan dalam pembangunan negara juga bisa sedikit terdorong. Memang dalam hal ini investor sangat diuntugkan ketika melakukan korupsi, karena mereka tidak mengeluarkan biaya yang cukup mahal sebagaiamana mestinya. Akhirnya korupsi di pilih sebagai solusi dalam mengakali regulasi yang berlaku. Kenapa demikian , dari tinjauan struktural fungsionalis ada sebuah struktur yang kemudian menghambat atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Korupsi kemudian dipilah untuk memperbaiki dalam tanda kutip “memcurangi” struktur ynag ada.
    Yang menjadi pekerjaan rumah kemudian bukan bagaimana korupsi di berantas tetapi bagaimana struktur tadi di perbaiki. Kalau mengacu pada fungsionalis merton, semangat pesimistis dalam pemberantasan korupsi pasalnya korpsi mrupakan bagian dari sistem itu sendiri dan sangat susah bahkan tidak mmungkinkan untuk mengahapus sistem tersebut.






     sumber gambar : narutowallpaper.com, uziek.blogspot.com



  • You might also like

    No comments:

    Post a Comment